Ekonomi Provinsi Sulawesi Tenggara menutup tahun 2024 dengan catatan pertumbuhan positif di tengah tekanan global. Berdasarkan Laporan Perekonomian Provinsi Sulawesi Tenggara yang diterbitkan Bank Indonesia, perekonomian daerah ini tumbuh sebesar 5,40 persen secara tahunan (ctc), meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yang mencatatkan pertumbuhan sebesar 5,35 persen. Kinerja ini bahkan melampaui rata-rata nasional yang berada pada angka 5,02 persen secara tahunan pada triwulan IV 2024.
Sektor konstruksi dan industri pengolahan menjadi pendorong utama laju pertumbuhan tersebut. Konstruksi mendapat momentum dari berlanjutnya pembangunan dua kawasan industri di Kabupaten Kolaka dan Konawe. Sementara itu, sektor industri pengolahan terdongkrak oleh beroperasinya kembali smelter berkapasitas besar di Konawe Utara yang sebelumnya sempat menjalani pemeliharaan. Sektor pertambangan dan penggalian juga tetap menunjukkan peran strategis, meskipun mengalami perlambatan karena harga nikel global yang melemah akibat kelebihan pasokan.
Dari sisi permintaan, konsumsi rumah tangga menjadi tulang punggung dengan total pengeluaran mencapai Rp13,26 triliun di triwulan IV 2024. Peningkatan daya beli masyarakat, terutama petani, tercermin dari Nilai Tukar Petani (NTP) yang tetap kuat di angka 114,53 poin. Di sisi lain, pembentukan modal tetap bruto (PMTB) yang mencapai Rp11,96 triliun menjadi sinyal positif atas kinerja investasi. Namun demikian, ekspor tercatat menurun seiring melambatnya permintaan nikel dan stainless steel dari Tiongkok, yang selama ini menjadi mitra dagang utama Sultra untuk komoditas tersebut.
Inflasi di Sulawesi Tenggara tetap terjaga sepanjang 2024, dengan tingkat inflasi tahunan sebesar 1,05 persen (yoy). Angka ini lebih rendah dibandingkan target nasional sebesar 2,5 persen ±1 persen dan juga di bawah inflasi nasional yang mencapai 1,57 persen. Kelompok pengeluaran makanan, minuman, dan tembakau mencatat inflasi tertinggi, dipicu oleh kenaikan harga rokok, bawang merah, dan ikan laut. Namun, tekanan inflasi berhasil ditekan oleh deflasi pada kelompok transportasi serta pakaian dan alas kaki. Komoditas seperti cabai rawit bahkan mengalami penurunan harga sebagai hasil peningkatan produktivitas melalui program pertanian organik dan bantuan sarana produksi.
Dari aspek keuangan, kondisi perbankan di Sulawesi Tenggara tercatat stabil. Kredit perbankan tumbuh sebesar 17,59 persen (yoy) dengan rasio kredit bermasalah (NPL) yang rendah, hanya 1,40 persen. Dana pihak ketiga (DPK) di bank umum mencapai Rp31,65 triliun, sementara total aset perbankan menembus Rp51,5 triliun. Rasio Loan to Deposit (LDR) tercatat tinggi di angka 133,39 persen, menandakan bahwa perbankan cukup agresif dalam menyalurkan kredit, terutama ke sektor produktif dan rumah tangga.
Sementara itu, sistem pembayaran non-tunai juga menunjukkan pertumbuhan signifikan. Jumlah merchant yang menerima pembayaran digital melalui QRIS meningkat menjadi 173.964 merchant, tumbuh 24,74 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Penerapan digitalisasi di pemerintahan daerah juga kian masif, dengan 17 pemda di Sultra telah berstatus sebagai Pemda Digital. Dari sisi peredaran uang tunai, Bank Indonesia mencatat outflow sebesar Rp2,38 triliun pada triwulan IV 2024, jauh melampaui inflow yang hanya Rp451 miliar. Ini mengindikasikan peningkatan konsumsi masyarakat pada akhir tahun.
Di bidang ketenagakerjaan, indeks penghasilan saat ini dan ekspektasi penghasilan untuk masa mendatang menunjukkan tren optimistis. Meskipun Nilai Tukar Petani sedikit menurun dibanding triwulan sebelumnya, kesejahteraan secara umum tetap terjaga. Indeks Penghasilan Saat Ini naik ke level 142,70 poin, sedangkan Indeks Ekspektasi Penghasilan meningkat menjadi 159,70 poin, mencerminkan kepercayaan masyarakat terhadap prospek ekonomi ke depan.
Untuk tahun 2025, Bank Indonesia memperkirakan ekonomi Sulawesi Tenggara akan tumbuh lebih tinggi. Faktor-faktor utama yang mendorong akselerasi tersebut antara lain beroperasinya industri pengolahan skala besar baru, percepatan pembangunan kawasan industri, serta membaiknya sektor pertanian yang didukung oleh cuaca yang kondusif dan program pemerintah seperti pompanisasi dan perluasan lahan tanam. Konsumsi rumah tangga juga diprediksi meningkat seiring pertumbuhan lapangan kerja.
Meski demikian, tekanan inflasi pada 2025 diperkirakan sedikit meningkat akibat beberapa kebijakan nasional seperti kenaikan cukai rokok, program makan bergizi gratis, serta kenaikan upah minimum provinsi. Namun demikian, inflasi masih diperkirakan berada dalam kisaran target nasional 2,5 persen ±1 persen, berkat langkah koordinatif pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan Bank Indonesia melalui strategi 4K—keterjangkauan harga, ketersediaan pasokan, kelancaran distribusi, dan komunikasi efektif.
Dengan stabilitas keuangan yang kuat, inflasi yang terkendali, dan prospek ekonomi yang cerah, Sulawesi Tenggara dipandang siap melanjutkan akselerasi pembangunannya di tahun 2025.